Permasalahan jual rumah
Ada yang sadar nggak kalo harga properti itu nggak pernah ada standartnya, kalo harga emas, sekarang kalian google pasti kalian nemu harga standart emas per gramnya berapa. Tapi harga properti nggak pernah bisa ditemuin segamblang harga emas.
Kemaren ada seseorang yang aku kenal lagi jual rumahnya seharga 1,5 Miliar, dan tebak harga itu diambil berdasarkan apa? Yak bener, berdasarkan pengalaman tetangganya jual rumah dan memperhitungkan biaya renovasi yang sudah dilakukan terhadap rumah tersebut.
Padahal sebagai konsumen pasti kita melihat sebuah rumah adalah sebagai rumah, bahkan kita nggak mau tau berapa biaya renovasi yang sudah pemilik keluarkan untuk ngebenerin rumahnya. Sekarang kita sebagai konsumen hanya bisa menilai dari kelayakan rumah tersebut berdasarkan harganya secara subjektif.
2 Orang yang berbeda akan memiliki standar kelayakan mereka masing-masing. Bahkan nggak ada landasan hukum atau sebuah organisasi yang bisa mematenkan harga rumah. Secara lokasi, bentuk rumah, atau bahkan besaran watt listrik bisa sangat berpengaruh terhadap harga rumah, belum lagi masalah subjektifitas.
Makanya nggak kaget kalo banyak orang jual rumah nggak laku-laku sampai hitungan tahun. Karena saat mereka jual rumah, sang penjual dan pembeli harus bisa sepakat atas harga berdasarkan subjektifitas masing-masing.
Istilah gampangnya adalah kuat-kuatan mental.
Karena bisa saja sebagai pemilik, dia merasa sudah mengeluarkan uang yang besar untuk renovasi dan perawatan, belum lagi sisi historical dimana sang pemilik merasa rumahnya adalah tempat untuk membesarkan anak mereka sedari kecil.
Sedangkan sang pembeli hanya melihat rumah ini sebagai sebuah rumah, mereka nggak seharusnya dan nggak harus peduli dengan sejarah rumah ini udah di renov berapa ratus kali hingga menghabiskan dana berapa ratus juta. Karena seorang pembeli hanya ingin membeli sebuah rumah bukan sejarah.
Ini alasan kenapa jual rumah itu susah saat ini, karena selain penjual harus mencari demand dari rumah tersebut, mereka juga harus mencari peminat dari lokasi tersebut. Untuk seorang developer ini gampang karena mereka bermain dalam partai besar itupun karena mereka ditunjang dengan marketing.
Gimana dengan perseorangan yang pengen jual rumah sendiri? Boro-boro ngeluarin duit untuk marketing, ini aja jual rumah karena butuh duit. Belum lagi untuk kasus perseorangan mereka harus cari pembeli yang memiliki subjektifitas yang mirip, supaya rumahnya bisa terjual sesuai dengan harga seperti keinginan penjual.
Dan belum lagi kalau sang penjual mengalami desakan ekonomi, biasanya penjual seperti ini yang sering dicari pembeli karena mereka bisa memainkan harga sesuka hati, apalagi tau sang penjual sedang membutuhkan uang cepat. Istilang orang awamnya BU(Butuh Uang).
Di zaman orang tua kita dulu kebutuhan orang akan sebuah properti masih tinggi-tingginya apalagi dulu dunia masih baik-baik saja belum diterpa covid dan segala printilannya. Saat ini menjual rumah sudah tidak segampang dulu mengingat orang bisa jualan dirumah tanpa harus membuat toko fisik, atau orang juga mencoba sebisa mungkin membeli rumah didesa karena ada kebijakan WFH dari perusahaan.
Dinamika yang terjadi hari ini sudah benar-benar jauh ketimbang masa orang tua kita dulu. Jadi karena kita manusia dan kodrat manusia salah satunya adalah beradaptasi maka beradaptasilah.