Opini…

Dah gitu aja nggak usah ngarep banyak

Light Bulp
3 min readMar 9, 2021
Photo by Mimi Thian on Unsplash

Dijaman sekarang, siapa sih yang nggak main twitter? Kayanya hampir semua orang mainin twitter. Bahkan beberapa kali ada orang yang menyebut kalo twitter itu adalah dedengkotnya medsos.

Saking dedengkotnya, waktu facebook group nge-down, mereka pun klarifikasi di twitter.

Tapi sadar nggak sih, setiap kali kita scrolling twitter selalu aja nemu sebuah thread yang isinya sebuah opini dan dikolom komentarnya diisi dengan perdebatan netizen tentang opini ini.

Saking sengitnya, sampe beberapa kali aku ngeliat seorang netizen ngeyelnya minta ampun seolah-olah si opini ini adalah sebuah fakta yang harus dibenarkan. Padahal sadari bahwa opini itu bukan sesuatu yang harus dibenarkan atau disalahkan.

Entah kenapa, aku ngerasa seandainya ada orang yang memiliki sebuah opini, maka kita nggak ada kewajiban untuk membenarkan kalo kita setuju atau menyalahkan kalo kita merasa opininya salah.

Kenapa? Karena opini itu hanyalah sebuah pendapat, dimana namanya manusia bisa mengeluarkan pendapat yang berbeda-beda tergantung sudut pandang yang diambil. Dan kalopun mau menyalahkan atau membenarkan, yang patut disalahkan atau dibenarkan adalah sebuah fakta.

Oke, katakanlah ada sebuah kejadian dimana dana bansos dikorupsi oleh seorang pejabat bernama samidi. Pak samidi memiliki 3 orang anak yang sedang dalam penyakit parah, dimana mereka bertiga harus segera dioperasi karena memiliki penyakit jantung kronis.

Faktanya adalah ada seorang pejabat bernama samidi mengkorupsi dana bansos.

Bagaimana dengan opininya? Banyak banget, opini bisa diambil dari sudut pandang manapun. Mungkin untuk orang yang dulunya pernah jadi pejabat dan tau berapa pendapatan seorang pejabat dan mengerti seberapa mendesaknya keadaan tersebut, dia akan beropini dengan membenarkan tindakannya.

Untuk khalayak umum yang tidak memiliki latar belakang sama sekali tentang menjadi pejabat, kemungkinan besar mereka akan ngomong kalo apa yang dilakukan salah dan layak untuk dihukum mati.

Baiklah, mari kita bredel satu persatu. Disini ada sebuah opini yang menyetujui perbuatan tersebut, ada yang tidak. Pertanyaannya, mana opini yang benar?

Jawabannya nggak ada

Karena memang opini yang keluar dilandasi dari sebuah latar belakang yang berbeda. Latar belakang seseorang akan mempengaruhi tingkat subjektifitas seseorang terhadap sebuah permasalahan.

Mungkin dari perspektif manusia yang bernegara, yang dilakukan memang salah. Namanya juga korupsi, pasti dia sudah merugikan banyak orang. Emang yang mau mati cuman anaknya doang?

Dari perspektif kita sebagai manusia dan bukan malaikat, mungkin kalo kita berada pada posisinya, kita juga bakalan melakukan hal sama. Siapa sih orang yang tega melihat orang yang mereka sayangi menderita?

Yaaaaa masak kita mau menyalahkan orang tersebut karena punya perspektif yang berbeda dengan kita? Nggak donggg, latar belakang mereka itu terjadi begitu saja, nggak ada yang mengatur, dan nggak ada yang merencanakan.

Mungkin kalo kita memiliki latar belakang yang sama, subjektifitas kita pun akan sama dengan mereka. Dan kalo ngomongin masalah opini, opini itu kan terbentuk karena subjektifitas seseorang terhadap sebuah permasalahan.

Maka dari itu, menurutku nggak ada opini yang salah dan opini yang benar. Adanya opini yang menarik dan tidak menarik.

Sebuah opini tak katakan menarik karena mungkin opini tersebut diambil dari sudut pandang yang kita nggak menduga bahwa sudut pandang itu ada, tapi biasanya nggak terlalu berlawanan sama subjektifitas kita. Dan akan menjadi tidak menarik, kalo terlalu kontras aja sama subjektifitas-ku.

Opini itu seni, dimana setiap orang bisa beropini tentang apapun dan dari sudut pandang masing-masing. Dimana masing-masing orang bisa menghasilkan opini yang berbeda dari sebuah permasalahan.

Perbedaan ini menurutku nggak perlu dipertentangkan, justru biarkan perbedaan ini muncul semakin banyak dan beragam.

Tujuannya apa? Tujuannya biar kita yang baca dan yang mendengarkan opini mereka, punya kemampuan untuk melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Karena semakin banyak sudut pandang yang kita dapatkan, biasanya kita bakalan semakin objektif.

Loh, kok bisa? Katanya opini adalah sebuah produk dari subjektifitas. Gimana ceritanya sebuah produk yang berasal dari subjektifitas bisa ngebuat kita semakin objektif?

Karena semakin kita bisa melihat sesuatu dari banyak sudut pandang, maka kita juga makin bisa mengambil sebuah kesimpulan dari sudut pandang yang bisa kita lihat.

Beropini tuh kaya lukisan, ada yang bisa menikmati lukisan abstrak, ada yang nggak bisa menikmatinya. Tapi bukan berarti lukisan abstrak itu jelek dongggg? Bukan berati kita nggak bisa menikmati artinya jelek dong?

--

--

Light Bulp
Light Bulp

No responses yet