Mimpi itu bergerak, jangan heran

Light Bulp
4 min readJul 19, 2021

--

Photo by Randy Tarampi on Unsplash

Dulu aku adalah salah satu orang yang percaya kalo bermimpi harus setinggi langit, tapi belakangan ada yang baru aku sadari. Bahwa sebenarnya mimpi itu bergeser, gimana mimpi bergeser? Jawabannya tergantung kedewasaan kita. Artinya semakin dewasa kita maka semakin mudah mimpi kita bergeser.

Pada sebuah kesempatan, aku pernah share ke temen-temen yang ada dalam panti asuhan di kota kelahiranku madiun. Dan kalo aku dikasih kesempatan yang sama maka aku akan ngomong kalo bermimpilah semampu kalian.

Kenapa? Sederhana, karena seorang anak dengan nalar yang masih belum sempurna dan kehidupan yang jauh dari realita masih memiliki mimpi yang tinggi. Sama seperti aku dulu punya mimpi jadi dokter setidaknya sampai lulus TK. Yang artinya dalam masa kanak-kanak, kita masih memiliki banyak pilihan, dan dengan segala keluguan maka pastilah kita memilih hal yang terbaik yang kita ketahui.

Masuk ke jenjang SD, aku menyadari sesuatu. Ternyata aku nggak pinter-pinter amat, terbukti di kelas 4–6 SD mendapatkan ranking 10 besar udah kaya nyari emas gratisan. Dalam perjalanannya aku ngerasa, kayanya jadi dokter bukan sebuah pilihan yang bagus mengingat IQ ku tampaknya cukup terjerembab. Dan secara tidak sadar mimpiku menjadi seorang dokter pupus.

Sampai pada akan menginjak jenjang SMP, aku nggak punya mimpi apapun selain pengen menjalani dan mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah favorit. Sayangnya takdir jarang sekali bersahabat, aku yang lumayan tolol di jenjang SD harus masuk ke salah satu sekolah yang kurang diminati banyak orang.

Saat itu mimpiku berubah, aku pengen mendapat kesempatan yang bagus untuk masuk ke sekolah yang namanya bisa dibanggakan oleh kedua orang tuaku saat mereka sedang nongkrong bareng temennya dan saat lebaran tiba di depan keluarga besar.

Kebetulan motivasiku sangat kuat dan akhirnya aku mendapat kesempatan bersekolah di salah satu sekolah bertaraf internasional di kotaku. Tidak berselang begitu lama, aku yang menjadi percaya diri harus dilumpuhkan lagi oleh kenyataan bahwa ternyata aku hanya orang yang tidak lebih dari manusia yang sangat termotivasi dan dapat mencapai mimpinya.

Setelah mimpi memasuki sekolah yang dapat diidamkan sudah tercapai, mendadak ada ruang hampa yang luas untuk mimpi yang selanjutnya. Lalu mimpiku selanjutnya adalah menjadi seorang pengusaha dengan memulai berjualan pulsa. Dengan manajemen yang buruk, usahaku hancur dan tidak bisa bersaing dengan teman sebangkuku yang sama-sama menjual pulsa.

Sayangnya kali ini mimpiku menjadi seorang pengusaha tidak luntur hanya karena pulsa. Beralih lah aku ke bisnis jual beli barang, dan menghasilkan hal yang sama. Yaitu kerugian.

Waktu berjalan, masuk ke masa perkuliahan. Ternyata tidak disangka-sangka aku adalah orang yang cukup optimis dengan mimpiku menjadi seorang pengusaha, ditengah banyaknya isu tentang MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang menuntut seorang mahasiswa bersaing dengan dunia, aku membuat usaha es gabus bernama es CIBU.

Dengan kerja keras team akhirnya usaha ini bangkrut, dan menyisakan sebuah penyesalan yang teramat dalam karena sampai hari ini aku nggak bisa bayar uang investasi — buat beli kulkas — dari ayah temanku. Dan rasa bersalah ini secara tidak langsung mengubur perlahan mimpiku menjadi seorang pengusaha sukses.

Masuk ke jenjang bekerja sampai ke jenjang pernikahan, aku benar-benar hidup dalam dunia tanpa mimpi. Sampai pada saat aku menikah dan melihat keseharian mertuaku dengan lebih dekat, dan saat itu mimpi baruku terbentuk.

Setidaknya sampai hari ini mimpiku adalah memiliki hidup yang cukup. Cukup bukan berlebih dan tidak kekurangan.

Setidaknya mimpiku hanya ingin bisa mencukupi kebutuhan saat sudah diperlukan. Saat kelak aku membutuhkan sebuah rumah, maka mimpiku aku bisa membeli sebuah rumah yang layak untuk keluarga kecilku. Saat kelak anakku meminta uang spp, mimpiku bisa memberikan uang spp tanpa membuka sebuah hutang dibelakangnya.

Dan sekarang yang aku coba lakukan adalah, membuat batas yang jelas antara kebutuhan dan keinginan. Sehingga untuk menjadi cukup akan lebih mudah. Karena menjadi cukup artinya segala kebutuhan terpenuhi. Dan saat kita bisa memenuhi keinginan, maka saat itulah kita menjadi orang yang berlebih.

Photo by Jeremy Bishop on Unsplash

Tapi memang dalam perjalanannya, menjadi dewasa adalah salah satu proses mengenali resiko dan menjadi lebih rasional. Dulu waktu masih TK, menjadi dokter adalah sebuah pilihan rasional, tapi beranjak ke SD bahkan sampai SMA hal itu nggak jadi rasional lagi. Mengingat masuk ke sekolah kedokteran butuh biaya dan akan beresiko mengeluarkan banyak dana menjadi dokter untuk orang dengan IQ terjerembab.

Hari ini bahkan aku nggak punya mimpi pengen punya mobil ferrari atau rumah sebesar 10 hektar tanah. Rasanya mempertahankan mimpi seperti itu hanya akan menghasilkan kekecewaan. Fakta selanjutnya yang baru aku sadari saat menjadi dewasa adalah kita lebih mengerti apa yang sedang dan akan kita hadapi.

Manusia cenderung menghindari konflik yang persentase memenangkan konfliknya tidak lebih dari 50%.

Kalo aku pribadi punya prinsip, jangan mengeluarkan terlalu banyak tenaga pada arena dimana kita akan dikalahkan, karena masih banyak arena yang bisa kita menangkan.

--

--

Light Bulp
Light Bulp

No responses yet