Polusi, sebuah ironi tapi kadung terjadi

Light Bulp
4 min readAug 15, 2023

--

Photo by Amir Hosseini on Unsplash

Lagi rame nih yang ngomongin masalah polusi udara jakarta, kualitas udara yang buruk dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Hmmmm, bahkan pak presiden pun sampek ngeluarin himbauan untuk perusahaan melakukan hybrid. Segawat itu kah?

Oke, aku pribadi sebenernya punya pengalaman kurang enak sama penyakit ISPA ini. Dulu di kantor lama, aku adalah salah satu orang yang bertanggungjawab untuk ngecheck reimbursement obat dari para pegawai.

Dan seingetku, hampir setiap minggu aku selalu nerima reimbursement obat untuk ISPA. Mirisnya lagi kebanyakan reimbursement ini di tujukan untuk anak dari si pegawai. FYI, ini terjadi 4 tahun yang lalu dimana aku masih ada di kantor yang lama.

Jadi kalo ngomongin masalah ISPA, ini bukan hal baru lagi sebenernya buat aku. Dan hal ini lah yang nge trigger aku untuk buru-buru banget pengen beli mobil sebelum dikaruniai momongan. Masalahnya, kita yang sudah dewasa saja bengek kalo suruh ngehirup udara di Jakarta tiap hari, apalagi bocil, ya pasti ISPA lah.

Pertanyaannya, kenapa sekarang baru rame? Apakah karena sekarang lebih parah? Terus kenapa bisa parah? Apa karena pemerintah terlalu abai sejak dulu?

Dengan mencuatnya masalah polusi ini, muncul beberapa hipotesa kenapa hal ini bisa terjadi. Ada yang ngomong masalah transportasi, ada yang ngomong masalah PLTU, bahkan ada yang ngomong masalah bakar sampah.

Yang mana yang benar, aku nggak tau, silahkan ikuti aja beritanya sendiri. Tapi yang jelas, polusi ini sebenernya pernah mereda, bahkan Jakarta pernah memiliki langit yang cerah biru dan tidak abu-abu beberapa tahun belakangan.

Yap bener, covid adalah jawaban dari birunya langit jakarta dan cerahnya matahari kala itu.

Sebenernya bukan covid, lebih tepatnya adalah masalah WFH atau WFA. Dimana skema kerja ini digunakan hampir semua perusahaan kala itu dan terbukti efektif membuat langit jakarta jauh membaik.

Memang result akhir dan akar masalahnya masih dipertimbangkan. Tapi kalau melihat hipotesa yang ada yakni PLTU, bakar sampah, dan transportasi, menurutku hal yang paling masuk akal untuk cepet ditangani dan terbukti hasilnya adalah masalah polusi transportasi.

Nutup PLTU juga nggak mungkin, secara nggak ada PLTU nggak ada listrik, mau menghentikan pembakaran sampah liar gimana caranya? Mau dibikin undang-undang yang menjerat pun nggak akan efektif, la wong yang bakar sampang sembarangan jumlahnya ratusan bahkan ribuan orang, mau di hukum satu-satu gitu? Be my guest, kalo emang ada budget operasionalnya.

Sedangkan masalah transportasi, gampang tinggal minta aja perusahaan yang memungkinkan WFH untuk WFH atau minimal jangan masuk seminggu 5 kali lah. Terutama untuk sektor usaha yang memang tidak diperlukan kehadiran pegawainya di kantor.

Sebenernya ada solusi lain yang lebih ultimate masalah transportasi ini, yaitu dengan membuat integrasi transportasi umum lebih baik dan mendirikan halte-halte yang lebih strategis.

Masalahnya untuk solusi ultimate ini butuh budget dan waktu yang nggak sedikit. Udah mah biaya nggak sedikit, efektifitas nya pun masih jadi pertanyaan. Aku nggak yakin orang Indonesia mau naik kendaraan umum walaupun integrasinya udah bagus.

Orang kita mah maunya naik kendaraan umum kalo di negara orang doang. Tanya dah sama temenmu yang ke kantor tiap hari naik mobil, mau nggak dia naik kendaraan umum kalo integrasinya udah bagus?

Paling kalopun jawabannya “mau” syaratnya banyak banget, trotoarnya kudu bagus lah, jalanan harus aman lah, yaaa mintanya 11 12 sama yang ada di Jepang lah.

Yaaa sebenernya nggak salah sih kalo mereka punya demand yang demikian, toh siapa juga yang nggak mau punya ekosistem transportasi umum se bagus Jepang.

Masalahnya kalo nungguin Indo punya ekosistem transportasi sebagus Jepang, yang ada paru-paru mu keburu rontok kena polusi.

Ditambah sekarang malah pemerintah dukung gerakan mobil LCGC(Low Cost Green Car) yang sebenernya cuman low cost doang, green nya kagak. Yang ada malah nambah kemacetan di jalanan Jakarta.

Sebenernya solusi terbaik adalah solusi yang bisa mengatasi akar permasalahannya, tapi kalo akar permasalahannya aja masih didebatin dan belum tau apa penyebabnya sedangkan kita tiap hari harus bergelut dengan polusi tanpa ampun, apakah bijak kalo permasalahan ini terus-terusan berkutat di perdebatan yang itu-itu aja?

Kita kan mengenal Short dan Long term solution, apakah nggak baiknya diambil short term solutionnya dulu? Bukankan kesehatan dan keselamatan rakyat itu harusnya didahulukan? Bukankah covid udah ngajarin kita banyak hal?

Masak nggak cukup WFH yang berjalan selama 2 tahun dan bisa mengembalikan bersihnya udara di Jakarta sekaligus bisa menjalankan bisnis dengan baik, walaupun memang ini nggak akan menghilangkan polusi 100%, tapi kalo bisa me reduce lebih dari 40% ya kenapa nggak to?

Yaaaa kalo aku ngomong nggak di denger sih gamasalah ya, toh aku juga bukan pemilik perusahaan. Tapi kalo presiden yang ngomong masih nggak didengerin, bikin negara sendiri aja nggak sih?

--

--

Light Bulp
Light Bulp

No responses yet