Jerat hutang karena nafsu

Light Bulp
5 min readMay 23, 2022

--

Photo by Nickolas Nikolic on Unsplash

Ada topik pembahasan menarik beberapa minggu belakangan sama salah satu rekan kerjaku. Jadi ada sebuah quote menarik yang waktu itu dibahas, kurang lebih quote nya begini.

Orang kaya makin kaya, orang menengah terjerat hutang, dan orang miskin makin miskin

Aku nggak mau bahas tentang orang kaya dan orang miskin, karena aku merasa tidak pada posisi keduanya. Aku pengen bahas tentang orang menengah yang dibilang terjerat hutang. Dan izinkan aku mendisclaimer terlebih dahulu bahwa tulisanku ini hanya opini belaka, nggak bisa dibilang 100% benar.

Setidaknya sampai sekarang aku nggak ada hutang yang harus ditanggung, jika dibandingkan beberapa orang yang sedang berada pada posisi kelas menengah, posisiku cukup diuntungkan karena tidak memiliki tanggungan hutang apapun.

Dan beberapa tahun belakangan aku penasaran kenapa banyak orang kelas menengah harus terjerat hutang, padahal tanpa hutang pun mereka harusnya bisa hidup dan menghidupi keluarganya. Oke ini adalah hasil dari beberapa pengamatan pribadiku.

Desire Management — Management nafsu

Sumpah, aku ngeliat orang kelas menengah sangat susah melakukan ini. Dan termasuk aku sendiri kadang masih kesusuahan mengontrol nafsu. Karena kebanyakan orang kelas menengah itu datang dari kalangan miskin, dimana ini adalah kali petamanya kita memegang resource dalam jumlah besar.

Sialnya orang seperti kami datang dengan banyak stigma dan menjadi sasaran marketing. Termasuk stigma bahwa kita hanya akan dibilang menjadi orang mapan jika kita sudah memiliki rumah. Ini diperparah dengan marketing yang secara konstan membanjiri kami dan membentuk opini kalo nggak ngambil rumah sekarang, ntar harga rumah makin mahal loh.

Ngatur nafsu penting banget kalo kalian nggak mau kejerat hutang, terutama mempertimbangkan beberapa hal sebelum mengambil hutang. Disclaimer ya, utang itu nggak masalah, toh juga semua orang pasti pernah berhutang.

Kita jarang banget mempertimbangkan dengan baik pertanyaan butuh nggak sama barang yang akan kita beli? Sebuah pertanyaan sederhana tapi jawabannya njelimet setengah mati.

Anggap kita mau beli sebuah mobil, hal pertama yang harus kita tanyakan adalah “butuh nggak beli mobil?”. Bisa di breakdown mejadi beberapa pertanyaan lagi :

  1. Kalo nggak beli, apa dampak yang akan kita rasain?
  2. Kalo udah kebeli, sanggup nggak ngerawatnya?
  3. Kalo udah kebeli, bakalan dipake nggak?
  4. Kalo mau beli, second atau baru?
  5. Kenapa harus beli baru?
  6. Kenapa harus beli second?
  7. Mau dibeli cash apa kredit?
  8. Merk apa yang mau kita beli?
  9. Duitnya ada apa nggak?

Beberapa pertanyaan diatas merupakan pertanyaan internal yang harusnya dipecahkan dulu sebelum mempertimbangkan hal eksternal. Karena kalo pertimbangan internal belum diputuskan secara matang dan mencari pertimbangan eksternal seperti :

  1. Ada diskon pembelian kalau diambil secara kredit
  2. Bulan depan harga mobil bakalan naik
  3. Ada fitur mobil yang ada di mobil baru dan nggak ada di mobil yang lama
  4. Kalo kita punya mobil, ntar lebaran biar keliatan kita kerja ada hasilnya

Nantinya kita akan sangat rancu dalam mengambil sebuah keputusan. Kemungkinan kita mengambil mobil baru dengan kredit akan lebih tinggi daripada mengambil mobil second dengan cash. Pertimbangan kita sudah lebih dari butuh dan tidak tapi lebih ke beli atau nggak.

Hindari Pertimbangan Eksternal

Seriously, hindari hal ini sebisa mungkin. Pertimbangan eksternal biasanya dipengaruhi karena bahasa marketing. Hari ini marketing mencoba sebisa mungkin membentuk stigma yang ada ditengah masyarakat. Dan ini bener-bener menjebak sekali.

Bayangkan kalian dalam keadaan kenyang, lalu ada seorang pedagang nasi goreng yang terkenal dengan nasi goreng nya yang sangat murah dan sangat lezat, bahkan nggak jarang untuk beli nasi goreng ini antrinya panjang banget. Dan sekarang ada didepan anda pedagang nasi goreng ini sedang dalam keadaan sepi dan membuka promo buy 1 get 1 free.

Aku berani taruhan, kalo kalian dalam keadaan kenyang, 90% dari kalian nggak akan beli nasi goreng itu.

Nah terapkan prinsip ini kepada hal yang lain, memang kalo hanya ngomongin nasi goreng terasa mudah memutuskannya, tapi kalo udah ngomongin mobil dan rumah atau barang besar lainnya, akan terasa dilematis.

Tapi secara prinsip sama, pertanyaan yang harus selalu diselesaikan adalah sebutuh apa kita dengan barang tersebut? Dan selanjutnya baru kita mempertimbangkan mau beli atau tidak.

Kemaren ada seseorang rekan kantor yang ngomong kalo dia menyesal membeli sebuah rumah yang akhirnya nggak dia tempati karena perjalanan dari rumah tersebut ke kantor terasa melelahkan. Dan rumah ini sekarang berakhir dikontrakan kepada orang lain. Sedangkan harga kontrakan tidak sebanding dengan maintenance rumah dan cicilan yang berjalan.

Awal mula dia beli rumah itu karena pemikiran eksternal yang ngomong kalo harga rumah makin hari makin mahal padahal dia sendiri belum selesai dengan menganalisis kebutuhan dia terhadap rumah tersebut. Ini sama seperti promo beli 2 gratis 1, selama kita hanya butuh 1, nggak perlu terlalu rakus untuk dapetin 3 kan?

Hutang Rasional dan Irasional

Nggak banyak orang yang ngebahas ini, tapi menurutku hutang itu dibagi menjadi 2 yaitu hutang yang rasional dan irasional. Nah disinilah otak kita harus didahulukan ketimbang perasaan. Karena kalo pake perasaan, udah pasti hal irasional bakalan dilakukan.

Apa yang dimaksud hutang rasional? Hutang rasional adalah hutang yang kemungkinan melunasinya diatas 80% — karena kalo ngomong hutang, nggak ada yang bisa bilang 100%. Kalo hari ini kita hutang besok mati, ya artinya hutang tidak terbayar. Nah 20% sisanya adalah kemungkinan nyawa kita tidak sampai pembayaran hutang.

Contoh hutang yang rasional adalah : si A memiliki keinginan untuk membeli sebuah mobil, dan dia sudah memiliki uang sebesar 280 juta, dimana mobil yang dia inginkan seharga 300 juta. Disisi lain, A setiap bulannya bisa menabung secara bersih sebanyak 10 juta per bulan secara konstan selama 7 tahun dari pekerjaan tetapnya. Maka si A memutuskan untuk membuka hutang 20 juta yang akan dia cicil selama 4 bulan.

Gimana? Masuk akal bukan? Angka 20 juta untuk orang yang sudah berhasil menabung 10 juta per bulan selama 7 tahun dari pekerjaan tetapnya bukan hal yang sulit bukan? Katakanlah dia di PHK di bulan ketiga dari tenor hutangnya, dia masih memiliki uang cadangan untuk tetap melunasi hutang yang sudah dia buka.

Dalam kurun waktu 4 bulan, kemungkinan akan banyak kejadian yang akan menempa kehidupan keuangan dari si A sangat kecil. Kalaupun ada, dia sudah menyiapkan spare, dimana tidak semua uang yang dia punya digunakan untuk membayar hutang.

Sekarang bandingkan dengan si B dimana dia memutuskan membuka hutang sebesar 500 juta yang akan dia cicil selama 20 tahun yang mana dia hanya sanggup menabung 3 juta per bulan dan harus mengemban cicilan 2 juta per bulan. Disisi lain, si B bekerja di sebuah perusahaan swasta yang sehat dan akan menikah dalam waktu dekat.

Gimana? Apakah tindakannya rasional? Dalam kurun waktu 20 tahun, perusahaan swasta bisa ambruk karena diterpa sebuah issue. Banyak hal akan terjadi selama kurun waktu 20 tahun, apalagi setelah dia menikah dan memiliki momongan, skema keuangan pasti akan sangat berubah. Ini yang tak sebut dengan hutang yang irasional.

Dan saat orang berada pada posisi si B, maka disinilah orang bisa disebut dengan terjerat hutang. Saranku untuk temen-temen dan aku sendiri, hindari jenis-jenis hutang yang irasional kalo emang nggak kepepet banget. Kembalikan ke pertanyaan awal butuh atau nggak? dan bukannya beli apa nggak?.

--

--

Light Bulp
Light Bulp

No responses yet