Ibuku ditukar Anakmu

Light Bulp
13 min readApr 14, 2023

--

Photo by Alexandre Debiève on Unsplash

“Meeting kita akhiri, silahkan meninggalkan ruangan” ucap pak Yuda mengakhiri meeting yang melelahkan ini.

Terlihat wajah Sania, teman wanitaku, sangat murung dan cenderung frustasi. “San, udah gausah dipikirin, pak Yuda kan emang gitu kalo ngomong” ucapku menenangkan perasaannya yang sedang kalut karena diomeli habis-habisan sepanjang meeting oleh pak Yuda.

“Kesel aja, lagian si anjing, kemaren kan gua udah bilang, vendor yang itu emang bermasalah, dianya aja yang ngotot” Sania ngomel dengan wajah kesal sembari mengeluarkan putung rokok. “Gua curiga, jangan-jangan pemilik vendor yang bermasalah itu perek nya si Yuda”.

“Heh, ngawur koe, jangan ngomong yang nggak-nggak lah, tembok disini tu bisa denger tau. Kalo ampek omonganmu nyampek ke kupingnya si Yuda, bisa abis karirmu” ucapku menyela omongan Sania yang udah mulai agak ngawur.

Pak Yuda memang sosok bos yang keras dan cenderung kurang bisa diajak bernegosiasi. Singkat kata beliau memang orang yang alot. Bahkan nggak jarang bawahannya resign dan meninggalkan karir gemilangnya di perusahaan sebagus ini hanya karena nggak tahan sama omongannya pak Yuda.

“Yowes, aku sholat dulu ya, ntar jadi nggak pulang bareng?”

“Jadilah, makan dulu ya tapi, laper gua, buruan kalo sholat gausah lama-lama, nggak akan masuk surga juga lu” omel Sania.

Di mushola kantor aku bertemu dengan pak Yuda yang terlihat sudah selesai melakukan sholat magribnya, dan disitu terlihat beliau sedang berdoa dengan sangat sungguh-sungguh.

Tak berani mengganggu, akhirnya aku memutuskan untuk bergegas keluar mushola dan tanpa sengaja aku bertemu dengan teman masa kecilku diluar mushola “Sigit? Kamu Sigit to?”, “Eh Bian, kerjo neng kene juga? (kerja disini juga?)” jawabnya dengan wajah kaget.

Karena kita sudah lama tidak bertemu akhirnya kita ngobrol panjang lebar didepan mushola, ternyata dia sekarang bekerja di perusahaan ini di bagian Public Relation, nggak kaget melihat si Sigit ini memang memiliki kemampuan komunikasi diatas rata-rata.

Bahkan Sigit ini pernah berhasil ngebujuk orang yang hampir bunuh diri dulu di kampung halaman kami. Padahal saat itu dia masih SMA, seorang remaja dengan tutur kata yang halus dan memiliki pembawaan yang sangat tenang.

“Hoi, sholat apaan lu lama banget? Perasaan magrib cuman 3 rakaat” Sania tiba-tiba muncul. Tak kerasa sudah setengah jam aku ngobrol bareng sama Sigit “Hehe, sorry-sorry kenalin San ini Sigit temen kecilku dulu pas masih di kampung, sekarang dia disini bagian PR loh”.

Sigit langsung berdiri dan memperkenalkan dirinya ke Sania, begitu pula sebaliknya.

Tak lama kami bertiga berbincang dan saling mengenal, pak Yuda keluar dari mushola. “Wong kui bosmu? (orang itu bosmu?)” tiba-tiba Sigit menanyakan tentang pak Yuda. “Iyo, ini si Sania habis di omelin ampe mukanya ketekuk seharian”, dengan wajah bete nya, Sania menyenggolku keras.

“Kasian ya, anaknya bakalan sakit keras kayanya” Sigit nyeletuk aneh.

“Haaa? Sakit? Tau darimana lu? Perasaan gua nggak pernah tau lu ngobrol sama beliau” Sania tersentak kaget dengan pernyataan yang diucapkan oleh Sigit.

Sedangkan aku udah biasa dengerin dia nyeletuk hal aneh macam itu, orang ini bocah emang indigo dari dulu, dan anehnya semua yang dia bicarakan itu benar akan terjadi. “Heh, kok awakmu bisa bilang gitu? Emang kenapa?” tanyaku penasaran.

“Wes gausah dibahas, nanti kalian lak tau sendiri” jawab Sigit singkat sembari mengambil tas dan pamitan untuk lanjut kerja lembur.

Dilanjutkan dengan aku dan Sania yang bergegas pulang untuk mencari makan karena perut kita juga udah kerucukan.

Di warung sate….

“Eh itu yang dibilang sama temen lu beneran yak? Kok dia kayak dukun sih tau-tauan kalo anak pak Yuda bakalan sakit” Sania nampaknya masih penasaran dengan ucapan Sigit di mushola tadi.

Lalu aku jelaskan kepada Sania bahwa ada beberapa tingkatan indigo yang aku tau, salah satunya adalah dia bisa melihat masa depan walaupun samar-samar, nah Sigit adalah orang yang memiliki kemampuan tersebut.

Walaupun memang melihat hal tak kasat mata adalah kemampuan basic dari seorang yang indigo, ternyata aku juga baru tau kalau ada orang indigo yang nggak hanya sekedar bisa melihat hal yang tak kasat mata tapi ada kelebihan lain yang menempel pada tubuhnya, setelah mengenal Sigit.

Dulu sewaktu sekolah Sigit duduk sebangku dengan ku dan tiba-tiba dia ngomong pelan “mayitt, mayittt, wong kui bar iki dadi mayit (mayat, mayatt, orang itu sebentar lagi jadi mayat)” sembari memandang tajam ke arah guru yang mengajar.

Dan bener aja, sepulang sekolah si guru meninggal disantap truk tronton yang blong remnya.

“Anjir, kok serem ya, tapi bisa dong dia liatin jodohku?” Sania mencoba bergurau.

“Kalo jodohmu udah jelas aku” jawabku sambil bergurau juga.

Keesokan paginya di kantor ada sebuah kejadian yang aneh bin ajaib, pak Yuda nggak masuk kantor. Ini kejadian yang bener-bener ajaib, gila itu orang mau ada badai apa tsunami sekalipun kayanya nggak pernah nggak masuk kantor.

Dulu bahkan pas beliau sakit, beliau pernah kerja di kantor sembari di infus, memang totalitas kerjanya nggak perlu diragukan. Dan untuk kali pertama dalam karirku di kantor ini pak Yuda mengambil cuti nya yang udah usang.

“San, pak Yuda nggak masuk kenapa dah? Tumben-tumbenan”, “Omongan temen lu kemaren jadi kenyataan kayanya” Sania menjawab singkat sembari mengerjakan pekerjaannya yang segudang itu.

Aku cepat mengiyakan omongan Sania dan melanjutkan pekerjaan. Karena hari itu nggak ada pak Yuda entah kenapa kantor rasanya memiliki aura yang lebih santai, nggak ada orang yang uring-uringan dan bahkan beberapa teman kantor ada yang sempet nonton Youtube ditengah pekerjaan mereka.

Hal semacam ini nggak akan bisa kejadian kalo pak Yuda masuk kantor, bisa hilang kerjaan kita kalo kerja sambil nonton Youtube.

Ctinggggg……

Bunyi sebuah notifikasi yang muncul dari whatsapp group kantor dan disitu ada sebuah whatsapp dari pak Yuda yang mengatakan bahwa dia meminta beberapa laporan dikirimkan ke email nya karena dia nggak bisa datang ke kantor dikarenakan anaknya sakit.

“Wahhhhh gila, temen lu emang beneran sakti” Sania mendekatiku sambil berbisik.

“Kan aku bilang apa, kamu sih nggak percayaan”

Sania masih geleng-geleng kepala sembari beberapa kali menanyakan lebih detail lagi tentang si Sigit. Nampaknya Sania beneran se penasaran itu dengan kemampuan Sigit.

Jam pulang kantor pun tiba, seperti biasa Sania selalu nebeng pulang ke kosan denganku, karena memang kosanku dan Sania sebelahan. Tapi kali ini kami tidak langsung pulang melainkan mampir dulu ke toko buku di mall dekat kantor.

Kebetulan buku edisi terbaru yang udah ku pre order dari sebulan yang lalu udah dateng dan siap diambil.

“Eh itu kan pak Yuda” aku melihat beliau sedang berjalan lunglai sembari menenteng keresek obat yang dia beli di apotek dekat toko buku yang aku hampiri. Tanpa basa-basi aku mencoba untuk menghampiri beliau “permisi pak, gimana keadaan anaknya?”

Pak Yuda nampak kaget dengan kedatanganku “baik-baik saja kok” jawabnya dengan nada lemah dan sayu.

Aku dan Sania yang melihat pak Yuda biasanya tegas dan keras sekarang dengan wajahnya yang tak ada energi membuat kami merasa sedikit iba. Setelah ngobrol sebentar dengan pak Yuda akhirnya kami memutuskan untuk kembali pulang.

Di kosanku….

“Lu liat nggak sih, pak Yuda lemes banget wajahnya, kira-kira anaknya sakit apa ya?” Sania penasaran.

“Yaaaa namanya juga anak sakit, siapa yang nggak lemes sih San”

“Tapi kalo anaknya cuman sakit biasa, nggak mungkin wajahnya se pucet itu kan? Dulu aja anaknya disekolah bonyok karena berantem dia nggak yang sepusing itu”

Setelah kupikir-pikir, bener juga ya, secara pak Yuda bukan tipe orang yang meratapi cobaan sedemikian rupa. Apalagi kalo cuman sakit demam dan meriang biasa, kayanya nggak akan bikin beliau sampai se down itu deh.

“Ah yaudah lah, nggak usah dipikirin, kan kita mau heppi heppi” Sania memecah lamunanku dengan wajah mesumnya.

“Kondom udah beli kan?” aku memastikan.

“Yang cewe gua, masak yang takut hamil elu?”

“Yeeeee, aku takut kena penyakit kelamin kaleeee, kalo hamil mah bodo amat, tinggal tak tinggal lari” jawabku ketus.

“Brengsek lu…” jawab Sania sambil senyum-senyum dan memulai eksekusi nikmat pada malam itu.

Ctingg….Ctingggg….Ctingggggg

Aku terbangun dan mendapati handphone ku bergetar tak habis-habis. Group chat kantor terlihat sangat ramai dan heboh, sedangkan si Sania masih tidur dengan nyenyak tanpa pakaian disebelahku.

Karena melihat jam sudah menunjukan jam 5 pagi, aku segera bergegas mandi besar dan mengambil wudhu untuk melakukan sholat subuh.

Yaaaaaa aku tau memang kelakuanku belum sepenuhnya baik, tapi dulu sebelum ayahku meninggal belau hanya berpesan minta didoakan selalu dan jangan pernah meninggalkan sholat.

Ctingg….Ctinggg….Ctingggg

“Ahhhh apa sih pagi-pagi berisik amat” Sania terbangun dan segera membuka whatsapp group kantor yang sedari tadi berbunyi tak kunjung usai.

Setelah aku selesai dengan sholatku, aku mendapati wajah Sania yang serius sedang melihat group whatsapp “hoi kenapa?”, “anaknya pak Yuda meninggal” jawab Sania dengan wajah sedikit kaget.

Aku segera membuka whatsapp group dan membalas chat yang saling bersautan didalamnya.

“Bian sama Sania, kalian dateng ya ke pemakaman anaknya pak Yuda, mewakili kita-kita” ucap mas Gogot salah satu senior yang ada di departementku.

Tanpa pikir panjang, aku dan Sania bergegas meninggalkan kantor menuju ke kediaman pak Yuda.

Sampai disana ternyata sudah ada Sigit yang berdiri didepan rumah pak Yuda. “Git, karo sopo mrene? (sama siapa kesini?)” sapaku.

“Karo mas Ganjar (sama mas Ganjar)” jawab Sigit singkat.

“Sania, jangan ikut masuk ke dalem ya” Sigit tiba-tiba melarang Sania.

“Lah kok jadi ngatur-ngatur sih lu?” Sania nampaknya kesal dengan kelakuan Sigit yang random.

“San, kamu lagi haid kan? Jangan masuk dulu ya, daripada nanti kamu malah kenapa-kenapa” Sigit mengatakan dengan nada yang lembut dan wajah yang sangat serius. Sania hanya mengangguk karena sudah tau siapa Sigit dari cerita ku semalam.

“Wah gila, kok kamu nggak ngomong?” aku refleks berbisik kesal ke Sania karena semalam kami habis melakukan hubungan badan.

“Tenang bian, lagek mau isuk kok haid e (baru tadi pagi kok haid nya)” Sigit memegang pundakku dengan wajah yang seolah sudah tau apa yang baru kita perbuat semalam. “Ayo mlebu” ajak Sigit melanjutkan.

Saat memasuki rumah pak Yuda entah kenapa hawanya benar-benar seperti di sauna. Pengap, lembab dan sangat panas. Padahal AC dirumah itu sedang menyala dan menunjukan suhu 16 derajat.

Keanehan berikutnya adalah, anak pak Yuda masih belum dimakamkan padahal jam sudah menunjukan pukul 10 pagi — biasanya orang yang meninggal malam hari, pagi harinya langsung dimakamkan.

Aku, Sigit dan mas Ganjar langsung mendekat ke pak Yuda dan istrinya yang sedang menangis disebelah mayat anaknya. Terlihat mata dari mayat anaknya masih bernafas kencang dan mata dari anak nya terbelalak ketakutan.

“Ya Allah kalo engkau mau ambil anakku, ambillah” pak Yuda terlihat merongrong berdoa meminta pertolongan. “Apa salahkuuuuu….apa salahkuuuuu” pak Yuda terlihat sudah sangat frustasi dengan kondisi anaknya yang mengenaskan ini.

Kabarnya setelah mayatnya dibawa pulang dari rumah sakit, tiba-tiba sang mayat bernafas lagi dengan kencang, dan matanya terbelalak sambil mengatakan “tolonggg….papa tolongggg”.

Semua orang yang ada didalam sedang berdoa mengelilingi mayat anak pak Yuda. Mereka berdoa dengan keringat yang menetes sebesar biji jagung. Didalam rumah pak Yuda yang semewah itu terasa seperti ditengah gurun pasir disiang bolong. Panassssssnya bukan main.

Sigit yang sudah mencium bau nggak bener langsung mendekati pak Yuda dan mengatakan “maaf pak, apa semalam bapak mendengar ada suara letusan di plafon rumah bapak?”.

Dengan wajah terisak pak Yuda mencoba mengingat ingat “iyaaa, iyaaa semalam ada suara letusan petasan yang kencang diatas rumah”

“Ediannn, gak bener iki, Bian tulung jupukno banyu putih (Gila, nggak bener ini, Bian tolong ambilkan air putih)” Sigit langsung refleks menyuruhku mengambil air putih.

Setelah air putih ditangannya, tanpa basa basi dan cukup mengagetkan semua orang, dia langsung menyiramkan air putih tersebut ke mayat anak pak Yuda. Dan seperti nampan panas yang disiram air, cesssssssssss suara itu keluar dari sekujur tubuh mayat anaknya pak Yuda.

Mata anak itu membelalak lagi “Haaaaaaaaaaaa, wani koe ngusir aku? Iki awakku, miggat kabeh (Haaa berani kamu mengusirku? Ini badanku, pergi kalian semua)” suaranya tidak seperti suara seorang anak perempuan berumur 14 tahun.

Pak Yuda dan istrinya menangis sejadi-jadinya melihat keadaan anaknya yang seperti itu.

“Yang lain lanjutkan berdoa, pak Yuda boleh ikut saya sebentar?” Sigit langsung menarik pak Yuda untuk menyingkir dari keramaian.

Setelah pak Yuda dan Sigit menyingkir lumayan jauh dari ruang tengah, Sigit membuka omongan “maaf pak, tapi anak bapak sedang kena santet Ijol Rogo. Singkatnya tubuh anak bapak dijual ke lelembut (jin) untuk nantinya mereka jadikan inang dan mereka hisap habis aura kehidupannya. Mereka tidak akan keluar dari tubuh anak bapak selama anak bapak belum benar-benar mati”

“Maksudnya? Anak saya belum benar-benar mati?” Pak Yuda bingung dengan penjelasan Sigit.

“Belum pak, anak bapak mati suri” jawab Sigit tenang.

Pak Yuda lemas dan langsung menangis sejadi-jadinya, dia memohon dan merengek sembari bersujud di kaki Sigit minta pertolongan untuk di selamatkan anaknya.

“Tenang pak, kita cari jalan keluarnya bersama” sembari Sigit membangunkan pak Yuda yang sedang bersujud di kakinya. “Bian aku njaluk tulung, sekarang kamu ke ruang tengah, ambil gelas yang tak pake nyiram anak pak Yuda tadi”

Tanpa pikir panjang, aku segera melakukan apa yang diminta Sigit.

“Pak, coba ingat-ingat, siapa orang yang pernah bapak sakiti hatinya hingga tega melakukan hal gila semacam ini?” Sigit mencoba mengorek informasi dari pak Yuda.

“Nggak ada, saya nggak pernah bermasalah dengan orang manapun” pak Yuda menjawab lantang.

“Maaf pak, kalau ini menyinggung perasaan bapak, tapi dari sudut padang saya sepertinya bapak nggak sadar kalau selama ini bapak selalu mengatakan perkataan yang kurang menyenangkan ditelinga setiap ada bawahan bapak yang kerjanya kurang memuaskan, coba diingat, mungkin ada bawahan bapak yang sakit hati dengan ucapan bapak dan pernah mengancam bapak?” aku mencoba untuk mendorong pak Yuda mengingat.

“Nggak mungkin, saya bekerja proffesional, apa yang saya katakan selalu berdasarkan data dan fakta yang ada” pak Yuda terlihat denial.

“Jerune segoro isok diukur, jerune ati menungso sopo sing eruh (dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati manusia siapa yang tau)” Sigit tiba-tiba memotong.

“Pak, maaf, njenengan sedang berhadapan dengan manusia, yang hatinya berisi apa kita tak pernah tau. Benar saja nggak cukup, harus disampaikan dengan cara yang baik pula” Sigit mulai frustasi.

“Kalau bapak terus-terusan denial seperti ini, saya tidak bisa menolong banyak sepertinya”

“Kalo ditanya begitu saya juga bingung, karena selama ini saya memperlakukan semua orang dikantor dengan cara yang sama” ujar pak Yuda sembari menggaruk kepala pertanda bingung.

“HUAAAAAAAAA, minggat kabeh minggat kabehhhhhh (pergi semuaa, pergi semuaaaa)” terdengar suara teriakan dari putri pak Yuda mengerang, bersamaan dengan hal tersebut aku melihat seseorang yang sudah lama nggak keliatan di kantor sedang ikut pengajian ditengah orang-orang yang mengelilingi mayat putri pak Yuda.

“Yahya?” ujarku refleks.

“Yahya sopo? (Yahya siapa?)” Sigit menengok penasaran.

Entah kenapa batinku terasa tak enak melihat raut wajah Yahya yang meringis kecil sesekali setiap melihat putri pak Yuda mengerang. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampirinya, ternyata dia sudah melihat gerak gerikku yang akan mendatanginya dan dia langsung lari keluar dari kerumunan.

Aku, Sigit dan pak Yuda langsung mengejar Yahya yang sedang tergopoh berlari keluar rumah. “Saniaaaaaa tendang, tendanggggg” seolah tau apa yang kumaksud, Sania langsung menjegal Yahya yang sedang lari tergopoh-gopoh.

Yahya tersungkur, dia langsung mengeluarkan telur dari saku celana nya dan mengancam akan membunuh putri pak Yuda “Yuda, maju selangkah maneh anakmu mati (Yuda, maju selangkah lagi, anakmu mati)”.

“Yahya, apa-apaan ini?” pak Yuda terlihat mencoba bernegosiasi dengan Yahya.

“Nyowo ibukku diijolne karo nyowo anakmu (nyawa ibuku ditukar nyawa anakmu)” Yahya mengancam sekali lagi.

“Yahya, tolong jangan gegabah, ada apa ini? Apa salah saya sama kamu?” pak Yuda terlihat bingung dan tetap mencoba bernegosiasi.

“Koe tanya apa salahmu ke aku? Aku nggak bisa menemani saat-saat terakhir ibuku sebelum beliau meninggal gara-gara kamu. Masih ingatkah saat itu aku meminta cuti 2 hari dan apa yang kamu bilang ke aku?”

Pak Yuda mencoba mengingat kejadian yang Yahya maksud dengan seksama, saat itu keadaan kantor memang sedang riweuh, semua orang sedang dalam keadaan yang sangat sibuk. Bahkan beberapa orang sudah tidak pulang kantor sejak 2 hari yang lalu. Di beberapa kursi terlihat handuk yang masih basah tersampir.

Tok…tok…tok

“Yaaaa, masuk” ruangan pak Yuda terlihat sedang diketuk.

“Selamat siang pak…maaf mengganggu waktunya”

“Eh Yahya, duduk duduk, ada apa? Laporan yang kemaren saya minta udah di email kan?” pak Yahya mengingatkan.

“Oh sudah pak, tadi pagi sudah saya kirim ke email bapak”

“Eh iya nih udah masuk, jadi kenapa nih?” pak Yuda mencoba membuka pembicaraan.

“Jadi gini pak, ibu saya sudah sakit beberapa hari ini, kira-kira saya boleh nggak ya pak ngambil cuti 2 hari untuk besok sama lusa?” Yahya mencoba bernegosiasi.

“Emang video call aja nggak bisa? Panggilin ambulance aja langsung bawa ke rumah sakit, kan semua biaya udah ditanggung kantor. Kita lagi sibuk Yahya, nggak bisa ditinggal-tinggal kelamaan” pak Yuda menjawab sembari membalas email.

“Tapi pak, cuma 2 hari aja. Kalo nggak 1 hari aja pak, tapi hari ini saya pulang sore ya?” Yahya mencoba bernegosiasi.

“Yahya, nggak usah aneh-aneh deh. Kerjaan lagi banyak, gausah kaya anak mama kemaren sore deh. Dah sana lanjut kerja, laporan buat direktur jangan lupa dikirim nanti sore ya”

“Pakkk, sekali aja. Saya nggak pernah minta yang aneh-aneh ke bapak kan sebelumnya? Cuti saya dari 2 tahun lalu juga masih utuh, saya nggak pernah ambil cuti sama sekali 2 tahun belakangan ini. Masak 1 hari aja nggak bisa?” Yahya mencoba untuk merengek lebih keras.

“Yahya…kalo kamu masih seperti ini mendingan resign aja, kayanya kamu udah nggak bisa kerja disini. Saya juga punya ibu, nggak cuma kamu yang punya ibu dan pengen nemenin ibunya. Kalo kamu nggak terima sama keputusan saya, mending resign aja ya? Jangan buang-buang waktu saya”

Tanpa banyak bicara Yahya langsung keluar ruangan karena dia tau sepertinya apa yang dia mau tidak akan dikabulkan oleh pak Yuda. Sedangkan kalau dia resign, ibunya sedang butuh banyak uang pengobatan. Akhirnya terpaksa dia mengikuti apa maunya pak Yuda.

Jam sudah menunjukan pukul 9 malam, telepon Yahya berdering, dia langsung mengangakat nya tanpa pikir panjang. Ternyata kakaknya mengabarkan bahwa ibunya sudah menghembuskan nafas terakhir.

Dengan wajah dongkol dia langsung membereskan meja dan lari pulang.

Tak lama kemudian pak Yuda keluar dan mencoba untuk menagih pekerjaan Yahya tapi Yahya tak menghiraukan omongan pak Yuda dan bergegas pulang. Tak lupa dia menyampaikan sesuatu saat berpapasan dengan pak Yuda, “Yud, saya resign” dan setelah hari itu dia tak pernah keliatan lagi di kantor.

“Mati, gaisok selamet (mati, gabisa selamat)” Sigit tiba-tiba merancu tak jelas lagi.

“Yuda, koe tak wenehi kesempatan onok nde samping mayit e anakmu disaat terakhirnya, kesempatan sing gak pernah mbok wehne neng aku (Yuda, kamu kuberi kesempatan ada disamping mayit anakmu disaat terakhirnya, kesempatan yang nggak pernah kau berikan padaku)” Yahya tersenyum lebar nampak kepuasan batin melihat pak Yuda merongrong minta belas kasihan.

Ctarrrrr…telor yang ada digenggaman Yahya terlihat dibanting. Dan tak selang berapa lama, anak pak Yuda menjerit kesakitan dan muntah darah, seluruh kain kafannya berlumuran darah, pada akhirnya anak pak Yuda menghembuskan nafas terakhirnya.

“Bajingaaaaannnnnn Yahya, bajingannnnnn” suara pak Yuda mengerang marah bercampur sedih.

Tanpa pikir panjang, Yahya langsung kabur meninggalkan rumah pak Yuda. Aku, Sigit dan mas Ganjar pun bingung apa yang harus kami perbuat. Kalaupun Yahya kami tangkap, tak ada bukti fisik yang cukup untuk menyeret Yahya ke ranah hukum. Hari itu kami hanya bisa pasrah.

Pak Yuda menangis terlihat menyesali apa yang sudah dia perbuat terhadap Yahya. Disisi lain beliau terlihat marah besar kepada Yahya karena telah menyeret anaknya kedalam permasalahan yang dia sama sekali tak pernah tau sebelumnya.

Hari itu pemakaman dilaksanakan setelah kami semua mengganti kafan anak pak Yuda yang berlumuran darah. Proses pemakaman berlangsung lancar, walaupun kamu harus berburu dengan waktu magrib yang sudah dekat.

“Kasihan pak Yuda, anaknya sampai seperti itu, padahal dia kan nggak tau apa-apa” Sania membuka pembicaraan.

“Yaaa mau gimana, sepertinya santet itu awalnya ditujukan ke pak Yuda, tapi karena pak Yuda tidak tersentuh, akhirnya anaknya lah yang menjadi sasaran. Selain itu sepertinya Yahya tau kalau penderitaan terbesar pak Yuda adalah anaknya sendiri” Sigit menjelaskan.

“Pelajaran buat kita, manusia itu makhluk yang kompleks, kita nggak bisa memperlakukan mereka seperti sebuah komputer yang hanya mengenal benar dan salah. Ada wilayah abu-abu yang cukup besar diantara hitam dan putih nya manusia” Sigit melanjutkan.

Aku hanya bisa menarik nafas dan benar-benar tak menyangka bahwa hal sesial ini menimpa keluarga pak Yuda. Orang yang hanya ingin berlaku profesional malah kena imbas yang mengerikan hanya karena salah bertindak.

“Hoi, malah ngelamun” Sigit memecah lamunanku.

“Eh, sorry Git, aku masih kaget sama kejadian yang barusan”

“Wes gausah dipikir, eh ati-ati lo Sania mari ngene meteng (Sudah nggak usah dipikir, eh hati-hati lo, Sania habis ini hamil)”

Wajahku yang tadinya bingung langsung merah padam mendengar omongan Sigit, kalo sampe Sania hamil anakku, habis aku, cicilan rumah masih belum selesai lagi.

Selesai…

--

--

Light Bulp
Light Bulp

No responses yet