Hukum dibangun untuk mengatur bukan untuk keadilan
Ini cuman opini loh yaa….
Beberapa hari belakangan aku kepikiran sesuatu, lumayan mengganggu tapi aku yakin ini juga akan sedikit mengganggu pikiran kalian. “Apakah hukum dirancang untuk keadilan?”. Sebuah pertanyaan simple yang nggak tau kenapa belakangan mengganggu banget buat aku.
Pertanyaan ini muncul karena sebuah video di tiktok yang lewat di FYP ku, isi videonya kurang lebih menceritakan seorang ibu-ibu yang nggak mau menjual tanah yang ditawar sama pemerintah untuk pelebaran jalan. Dimana pemerintah ini menawar dibawah harga pasaran, yaa siapa yang mau tanahnya dibeli dibawah harga pasaran.
Lalu pihak pemerintah ini menyodorkan sebuah surat yang harus ditandatangani, dimana ibu-ibu ini jelas nggak mau tanda tangan dikarenakan beliau tidak setuju dengan pembelian tanah dengan harga segitu. Tapi yang terjadi beberapa bulan kemudian, pelebaran jalan tetap dilaksanakan. Tanah yang tadi ditawar tetap dibangun jalan tanpa persetujuan ibu-ibu ini.
Pertanyaannya sederhana, menurut kalian yang dilakukan sama pemerintah ini bener nggak?
Kalo kalian berfikir bahwa mereka salah, maka selamat anda sudah kena prank. Karena menurut peraturan pemerintah selama 14 hari kalian nggak mengajukan banding ke pengadilan maka tanah kalian menjadi hak pemerintah untuk dibangun fasilitas umum. Dan kalo kalian nggak mengajukan keberatan maka kalian dianggap menerima besaran yang sudah diajukan.
Kenapa aku tau ini? Bukan karena literasi hukum ku bagus tentunya, tapi karena aku baca dari sini. Gimana? Mengejutkan bukan?
Pertanyaannya adalah darimana kita tau kalo kita harus mengajukan banding ke pengadilan? Boro-boro mengajukan banding, kita aja nggak ngerti kalo aturan itu ada, kita bahkan mikir bahwa saat kita nggak tanda tangan artinya kita nggak setuju kan?
Faktanya literasi hukum orang yang ada di Indonesia sendiri itu nggak semuanya tinggi, nggak banyak orang yang paham dengan proses hukum. Kalaupun paham, belum tentu orang itu punya nyali menggugat pemerintah yang dasarnya aja mereka yang membuat hukum itu sendiri. Kemungkinan menangnya itu nggak nyampe 5%. Ditambah kalo ibu-ibu tadi nggak ada duit buat sewa pengacara, harus sogok kanan kiri. Menang belum tentu, keluar duit udah pasti.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah hukum itu dibangun untuk menegakkan keadilan? Aku rasa nggak sih. Hukum dibangun untuk mengatur. Udah itu aja nggak kurang nggak lebih, karena susah pasti untuk mengakomodir keadilan semua orang yang ada di Indonesia, mengingat jumlah warganya yang nggak sedikit.
Makanya jangan kaget kalo di desa-desa sering banget orang menyelesaikan masalah menggunakan saudaranya yang berseragam. Berharap orang yang dilawan takut karena ada orang yang bekerja sebagai penegak hukum di belakangnya. Memang ironis, tapi ini sering banget kejadian, dan keluargaku pernah ngalamin ini langsung.
Kenapa hal ini terjadi? Karena cara ini sering berhasil, menggunakan orang berseragam dalam menggertak lawan. Padahal dalam hukumnya nggak ada aturan yang menjerat sama sekali. Nggak ada urusannya itu penegak hukum ngejogrokin masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. Tapi karena dengan adanya penegak hukum ini, akhirnya masalah bisa selesai dengan lebih cepat.
Kenapa masalahnya selesai lebih cepat? Ya semata-mata karena pihak lawan nggak punya literasi hukum yang bagus. Takut kalo dipermasalahkan di kepolisian mereka malah berakhir di balik jeruji besi, padahal permasalahannya masih jauh dari kata mufakat. Nggak ada pasal yang bisa menjerat juga.
Tapi kan orang-orang ini nggak tau apakah ada pasal yang bisa menjerat atau tidak, yang jelas ketakutan mereka akan pasal-pasal yang nggak tau gimana aturan mainnya sudah menghantui mereka. Banyak banget orang yang sebenernya nggak bersalah dan harus kehilangan haknya karena ketidakpahaman mereka tentang hukum.
Mau disalahin? Nggak bisa juga, orang mereka aja nggak ada waktu buat baca pasal satu per satu. Boro-boro baca pasal, cari makan aja udah dari pagi ampe malem. Baca pasal pun nggak akan membantu selama mereka nggak paham isi dan konteksnya. Belum lagi permainan diksi di setiap pasal kan mengandung makna yang berbeda.
“Ya makanya kan ada orang hukum dan pengacara yang memang sudah professional”. Hoiiii, duit dari mana mereka harus sewa pengacara? Makan sehari-hari aja udah sulit, belum lagi sewa pengacara nggak akan menjamin mereka menang dalam gugatan. Orang-orang ini adalah orang yang nggak ada kepikiran sewa pengacara atau perlindungan hukum.
Pengacara kondang itu hanya sebuah fasilitas mewah orang yang emang punya duit aja. Mana mau kalian kerja sukarela menangani kasus yang nggak ada duit dan exposurenya. Udah kuliah mahal-mahal nggak dapet duit kan rugi boss. Aku juga kuliah masalahnya, hehe.
“Sekarang kan sudah ada LBH, atau lembaga bantuan hukum”. Ya memang sudah ada LBH, tapi LBH juga nggak semuanya bagus. Ada yang ngebelanya juga sekenanya aja, beda pasti result kerja LBH dibanding pengacara swasta yang bayar sendiri sampe puluhan juta.
Pointnya adalah memang hukum dibangun untuk mengatur dan bukan untuk sebuah keadilan. Jadi satu-satunya cara supaya terlindung dari masalah hukum adalah jangan cari masalah.