Free sex jadi solusi?

Light Bulp
3 min readDec 1, 2022

--

Photo by We-Vibe Toys on Unsplash

Jadi lagi rame belakangan karena ada mbak-mbak posting cerita sedih atas keagagalannya menikah, dia menceritakan bahwa dia gagal menikah padahal pernikahan akan dilaksanakan 3 hari lagi. Semuanya sudah siap, dari undangan, foto prewed sampai venue.

Sampai pada saat sang mempelai pria mengklarifikasi bahwa gagalnya mereka menikah dikarenakan pihak perempuan secara mendadak meminta mahar berupa sertifikat rumah. Hmmmmm 😗

Sebenarnya cerita serupa sering banget kejadian, bukan cerita gagal nikah H-3 nya ya, tapi cerita batal nikah karena budaya. Entah budaya apapun yang mereka pakai, dari mulai budaya uang tebusan yang sebegitu tingginya berdasarkan title yang dimiliki oleh sang wanita ataupun budaya marga.

Disclaimer aku nggak menyalahkan budaya apapun itu, karena menurutku budaya harus tetap ada karena budaya mau tidak mau memang lahir terlebih dahulu ketimbang kita. Tapi aku nggak setuju kalau budaya menjadi penghalang niat baik seseorang.

Gini, kalo ngomongin budaya, di Indonesia ada buanyak banget budaya yang berkembang. Di budaya jawa aja ada banyak jenis ragam kebudayaan yang dianut, belum lagi budaya-budaya lain yang ada di seluruh pelosok Indonesia.

Tebakan ku ada lebih dari 100 jenis budaya yang tersebar di seluruh pelosok negeri.

Akan jadi masalah kalau kebudayaan ini dibenturkan satu sama lain, seringnya ini terjadi kepada calon pasutri yang berniat mau menikah. Aku punya banyak temen yang sampai sekarang mereka kesusahan untuk bersatu dalam pelaminan karena alasan budaya.

Budaya menurutku sekarang hanya sebagai pelengkap, bukan lagi jadi kompas kehidupan. Karena kehidupan hari ini udah sangat berbeda dengan kehidupan masa kerajaan dulu dimana masing-masing kerajaan kadang masih bersitegang.

Hari ini kita hidup ditengah keberagaman, terutama kalo kita tinggal dikota besar, tempat dimana banyak orang dengan suku, agama dan budaya yang berbeda-beda membaur jadi satu. Dengan keberagaman yang membaur menjadi satu seperti ini, jatuh cinta bisa dengan siapa saja tanpa memandang ras dan suku.

Ya masak ditengah berdebar-debarnya dada karena sedang bertemu belahan jiwa harus nanya “sorry nih, margamu apa ya?” atau “eh maaf, btw aku lihat-lihat kamu agak sipit, kamu cina ya?”. Kan ganggu banget, ngerusak moment gitu.

Terus kalo marganya nggak cocok atau ras nya tidak sesuai harapan mereka harus memutuskan untuk gua nggak boleh jatuh cinta? Yaaaaa tulung lah, nggak bisa gitu dong. Jatuh cinta itu kan sesuatu yang spontan, nggak bisa diatur segampang itu.

Jatuh cinta itu kayak kebelet boker, dateng gitu aja, mau kita memunafiki dengan “tahan…tahan…tahan” kalo emang udah waktunya pasti harus di keluarin, kalo nggak bakalan jadi penyakit.

Sebenernya budaya itu bukan hal yang buruk, tapi kalo budaya menghalangi niat baik seseorang jadinya nggak pas aja. Bayangin berapa orang aja yang males nikah karena ribetnya ngurusin masalah budaya ini, yang malah berakhir free sex?

Kalo udah begini siapa yang rugi?

Mengambil keputusan untuk segera menikah atau tidak saja sudah sangat sulit, masak harus diperibet lagi dengan masalah budaya yang nggak cocok tanggalnya lah, uang tebusan yang beratus-ratus juta lah, atau bahkan marga yang nggak cocok.

Maksudnya gini, kalo ada sebuah pasangan memutuskan untuk menikah artinya mereka ingin berkomitmen untuk hubungan mereka. Sehingga apapun yang terjadi dengan hubungan kedua sejoli ini akan ada lindungan hukum dan agamanya.

Setidaknya sang ayah nggak bisa semena-mena ninggal anak istri karena alasan bosan. Atau istri nggak bisa seman-mena cari pasangan baru hanya karena sanga suami sudah mulai bangkrut. Komitmen ini yang mau mereka jalin.

Nah kalo mau menjalin komitmen yang notabene sama-sama menguntungkan untuk kedua belah pihak aja dipersusah, yaaaa jangan kaget kalo orang jaman sekarang pada lebih suka melakukan free sex.

--

--

Light Bulp
Light Bulp

No responses yet