Etis dan benar adalah dua hal yang berbeda
Jadi, belakangan ini ada sebuah tragedi yang lumayan asik buat diomongin. Ceritanya aku punya temen yang sekarang lagi ngejalanin bisnis mainan dan alat-alat buat kreatifitas anak gitu lah pokoknya. Dan kebetulan ada saingan bisnisnya doi yang bikin bisnis yang sama dengan bisnis yang lagi dijalanin sama temenku ini.
Yang jadi masalah bukan cuma bisnisnya yang sama, tapi marketing dan jenis-jenis productnya pun mirip.
Dalam dunia bisnis kita mengenal namanya bubble, dimana nggak ada yang baru dalam dunia bisnis. Semua hal yang ada hari ini adalah pengembangan dari product sebelumnya atau bahkan product yang sama hanya beda merk saja. Seperti tokopedia adalah salah satu bubble dari amazon, dimana secara bisnis proses memang tokopedia nggak beda jauh dengan amazon.
Tapi dalam dunia bisnis kita mengenal sebuah etika berbisnis, memiliki bisnis hasil bubble dari sebuah bisnis sebenernya nggak salah dan etis. Yang jadi nggak etis adalah, saat kita membuat sebuah bisnis doppelganger. Nggak tau artinya doppelganger? Googling yah.
Bisnis bisa dikatakan doppelganger kalo bisnisnya itu adalah bubble dari bisnis yang lain dan product yang dikeluarkan mirip, logonya mirip, penamaan mirip, dan teknik marketingnya mirip. Istilah kasarnya tuh nyontek yang cuman dibedain warna doang. Apakah ini benar? Menurutku ini benar, tapi apakah ini etis? Jawabannya nggak.
Kenapa? Karena dalam sebuah bisnis pasti ada kreatifitas sang owner atau pegawainya. Dimana kreatifitas ini juga nggak keluar dalam waktu semalam, butuh waktu buat ngegodok, dan pertimbangan produksi yang lain. Bayangkan dengan jentikan jari semua proses panjang ini nggak perlu dilewati dan langsung menuju proses produksi, efektif? Iya, etis? Hmmmm harusnya nggak ya.
Lah, gimana kalo orang yang bikin bisnis ini nggak niat nyontek dan kebetulan aja sama idenya? Hmmm sebuah kebetulan yang terjadi sekali atau dua kali itu masuk akal, tapi kalo setiap kesempatan adalah sebuah kebetulan maka itu lebih pantas disebut sebagai keajaiban. Permasalahan sebenarnya bukan ada di titik kebetulan atau nggaknya, yang jadi masalah adalah frekuensinya.
Saat frekuensi kebetulan itu nggak lebih dari 20%, yaaa masuk akal. Tapi saat frekuensi kebetulan itu diatas 90% maka ini bisa disebut pencurian kreatifitas. Ngerti kenapa? Karena nggak mungkin kebetulan terjadi setiap saat.
Ah, kreatifitas kan nggak semua bisa dipatenkan? Jadi boleh dong disamain? Yaaa boleh-boleh aja sih, karena memang dimata hukum selama tidak dipatenkan maka bisa aja sebuah kreatifitas disamai dan sah. Tapi sah juga dong kita menyebut orang yang menyamai dan mengcopy kreatifitas ini sebagai orang yang tidak etis?
Sebenarnya ini sama kasusnya dengan orang yang make karakter anime untuk kaos tanpa ijin dan diperjual belikan. Ambil contoh naruto, untuk bikin karakter naruto ini punya nilai, sang penulis komik harus memikirkan cerita dari awal sampe akhir dan harus menggambar scene demi scene, belum lagi harus memikirkan pengembangan sang karakter lengkap dengan sejarah hidupnya.
Dan setelah semua hal yang dilakukan sang pencipta karakter ini, kita mau seenak jidat make karakter ini untuk nyari untung buat kita sendiri? Tanpa ngasih tau atau seizin sang pemilik karakter.
Boleh kah hal ini dilakukan? Ya boleh aja karena sampe sekarang hal ini masih lumrah terjadi. Tapi pas ada seorang animator pembuat karakter terkenal jatuh miskin dan diliput oleh media, tiba-tiba semua orang mengasihani beliau. Pertanyaannya kenapa ini bisa terjadi? Karena sampe hari ini, memang nggak semua kreatifitas bisa dipatenkan, tapi semua kreatifitas patutnya harus dihargai.
Kadang orang susah membedakan antara terilhami dan memadai, orang yang terilhami itu tergerak untuk melakukan sesuatu karena ada suatu hal yang memancing kreatifitasnya, sedangkan memadai adalah sebuah kemalasan manusia dimana dia pengen memiliki suatu hal yang sama persis dengan apa yang dimiliki orang lain.