Bocah start up
Ngomongin masalah kantor lagi, tapi mari kita buat lebih spesifik. Terutama untuk start up. Hehe, sekali-sekali kita bully lingkup kerja sendiri. Mungkin beberapa dari kalian belum tau, aku kerja di salah satu start up di Indonesia. Tepatnya sebagai seorang software engineer, atau kebanyakan orang bilang programmer.
Padahal programmer dan software engineer itu beda, di artikel lain akan tak bahas apa bedanya. Tapi di artikel kali ini izinkan saya membully tempat saya bekerja.
Hal pertama yang paling tak sebelin dari orang yang kerja di start up adalah kebanyakan orangnya masih naif. Beneran se naif itu mereka ini, hal paling naif dari semua yang anak start up lakukan adalah masalah uang. Banyak orang yang kerja di start up merasa bahwa seiring bertambahnya ilmu maka akan bertambah juga uang.
Padahal menurutku nggak ada korelasinya antara ilmu dan uang, makanya aku adalah orang yang nggak masalah ada orang miskin yang menasihatiku masalah keuangan. Karena pada dasarnya, orang yang berilmu belum tentu jago mengimplementasi. Kan coach doesn’t play the game.
Contoh paling sederhananya adalah perokok, semua perokok tau bahwa merokok adalah sebuah tindakan memperpendek hidup. Tapi masih banyak aja orang yang tau akan teori ini dan nggak berhenti merokok, apakah karena mereka nggak tau kalo merokok itu nggak sehat? Nggak jugaaaa. Mereka tau, tapi nggak mau.
Hal kedua adalah bekerja dengan passion. Dimana kalimat ini hanya dikeluarin sama orang kaya doang. Nggak ada orang bekerja dengan passion, karena semua passion yang dijadikan pekerjaan nggak akan menyenangkan lagi. Yang bener menurutku adalah love what you do, bukan do what you love kalo dalam dunia pekerjaan.
Bayangkan, kalian suka main bola. Setiap saat ada waktu luang, kalian selalu main bola. Lalu kalian mikir, “enak ya ronaldo bisa main bola dan dibayar”. Come on, dia sehari latihan bola bisa 8 jam dalam sehari. Dan itu pun nggak main bola mulu, doi harus nge gym, dan ice bath juga. Makan juga harus dijaga, nggak bisa makan KFC kalo lagi kepengen.
Apa enaknya melakukan hal yang sama dengan terus menerus? Nggak akan enak, stress akan muncul perlahan. Tanpa kalian sadari, sesuatu yang kalian anggap passion, jadi sebuah poison.
Dulu pas masih kuliah, aku seneng banget sama ngoding karena ngoding itu kayak mainan lego tapi lebih kompleks. Tapi pas udah kerja dan masuk kedalam dunia yang lebih professional, ngoding ternyata nggak seasyik itu. Karena banyak pakem-pakem yang musti diikuti, nggak bisa sembarangan karena nantinya code kita bakalan dibaca sama orang lain.
Kalo sekarang ditanya apakah ngoding adalah passion ku sekarang? Jawabannya iya tapi bukan di kantor. Di kantor ngoding hanyalah sebuah kegiatan yang menghasilkan uang.
Dampak dari semua hal yang sudah tak jelaskan diatas adalah turn over yang gede. Udah bukan rahasia, di dunia start up, resign adalah hal yang lumrah. Dan ini ngebikin anak-anak start up nggak peduli sama yang namanya demo buruh ataupun serikat pekerja. Apalagi masalah PKB (Perjanjian Kerja Bersama) dan PP (Peraturan Perusahaan).
Haha, tau darimana aku masalah PKB dan PP? Dulu aku pernah kerja di perusahaan otomotif dan disana aku kebetulan kerja di divisi HRD selama setahun. Dan aku ngerti seberapa jahatnya PP ini. Bakalan tak bahas di lain artikel kalo kalian pengen tau.
Ini fakta, aku pernah ditanyain sama temanku di start up ini “buat apa sih demo buruh segala, kalo emang mereka nggak suka sama perusahaannya kan tinggal resign aja”.
Mari ijinkan aku menjawab pernyataan ini. In case kalian lupa kalo kita sebagai manusia itu menua, dimana mau kita muda ataupun tua, pendapatan adalah salah satu sumber penghidupan yang nggak boleh hilang. Dan mungkin kalian lupa, nggak semua dari kita akan memiliki karir cemerlang di masa tua kita nanti kan?
Kalo semua dari kita jadi direktur perusahaan, siapa yang jadi kacungnya? Dan saat kita sudah tua nanti apakah ada perusahaan yang mau nerima kita dengan umur dan produktivitas yang nggak sama lagi dengan sekarang? Ditambah kebutuhan yang makin hari makin mendesak.
Ini yang ngebikin demo buruh terjadi, dan memang terasa guna nggak guna buat kita yang masih muda yang masih relatif mudah kalo mau resign dan cari tempat baru yang mau menggaji kita kalo perusahaan tempat kerja kita nakal.
Aku ada contoh, beberapa tahun yang lalu ada seorang temen yang kerja di sebuah start up travel yang lambangnya kaya twitter. Dimana waktu itu baru awal pandemi, yang mengakibatkan perusahaan nggak bisa ngeluarin bonus, karena seperti yang kita tau sektor travel salah satu yang paling terdampak.
Apa yang dia lakukan setelah tau bonusnya nggak turun? Yap anda benar, RESIGN. Dimana itu nggak masalah, mengingat umurnya doi masih muda banget, dan terbukti dia bisa dapet tempat yang lebih baik sekarang dengan gaji yang nggak kalah nggak masuk akalnya.
Tapi gimana kalo casenya doi saat itu sudah berumur 40 tahun? Apakah pilihan resign masih jadi pilihan yang sebagus hari ini? Walaupun katakan karirnya bagus, nggak akan semudah itu resign dibanding dengan saat kita masih dalam umur yang masih produktif.
Tapi menurutku wajar aja mereka yang masih muda dan kerja di start up ini nggak aware sama hal yang kaya gini. Ya mengingat atasan mereka juga pada masih sangat muda, dan belum pernah ada orang yang pensiun dari perusahaan tersebut. Ya balik lagi kayak yang tak bilang diatas, kalo perusahaannya nakal ya tinggal ditinggal aja.
Nggak usah repot-repot…