Beberapa alasan kenapa jangan buru-buru nikah
Sebenernya ada beberapa alasan kenapa setiap kali aku ketemu sama orang yang belum menikah dan berkonsultasi akan kebingungannya karena belum menikah aku selalu ngomong “gausah tergesa-gesa, menikah itu one way, nggak ada jalan balik”.
Kadang aku ada waktu buat ngejelasin, tapi seringnya nggak ada waktu. Jadi sekarang aku mau jelasin kenapa aku selalu memberikan saran yang berkesan melarang orang untuk segera menikah.
Oke, disclaimer dulu, yang akan tak tulis ini murni opini pribadi.
Hal pertama dan yang paling utama adalah ego. Sesuatu yang hampir dimiliki oleh setiap orang tapi nggak semua orang bisa mengendalikannya. Dan seperti yang kita tau bahwa ego itu nggak akan pernah hilang, dan nggak akan pernah mati. Ada ego yang sebaiknya diselesaikan dan ada yang sebaiknya ditahan.
Aku percaya bahwa ego yang sudah berbentuk keinginan dan tidak pernah terselesaikan, dia akan tertidur sementara, dan akan bangun dimasa tua kita kelak dengan bentuk penyesalan.
Ibu mertuaku dulu pernah pesen ke istriku “nduk kalo bisa kamu kerja dulu sebelum menikah, mamah nyesel dulu nggak kerja dulu, jadi nggak pernah ngerasain punya duit sendiri”. Aku bisa mengerti betapa dalemnya penyesalan beliau karena nggak pernah bisa mencari uang dengan keringatnya sendiri, tapi apa boleh buat, umur sudah tidak memadai dan tenaga sudah tidak se prima dulu.
Dulu sebelum aku dan istriku memutuskan untuk menikah, kami memiliki list yang harus dipenuhi dan kami tidak akan menikah sebelum list itu terpenuhi. Karena kami percaya ada hal yang akan sangat sulit diwujudkan ketika kami menikah kelak, belum lagi kalau kami dikaruniai anak di umur pernikahan yang masih muda.
Sebenernya dari list keinginan yang sudah kita buat pada akhirnya ada yang harus nggak kesampean, tapi beruntungnya yang nggak kesampean adalah keinginan yang prioritasnya rendah. Untuk menekan ego, kami memutuskan untuk memberikan prioritas terhadap keinginan kami.
Salah satu keinginanku adalah beli rumah cash, tapi kan kayaknya susah yaaa kalo harus punya rumah sebelum menikah dan hidup di Jabodetabek. Kecuali aku anaknya Bakrie. Jadi aku memutuskan untuk menaruh keinginan ini jadi prioritas terbawah, karena kalo nggak, kami mungkin akan menikah diumur 60 tahunan.
Entah ini hanya perasaanku atau kalian juga ngerasain, sekarang banyak banget orang yang nikah karena stigma sudah umurnya. Yang malah pada akhirnya timbul penyesalan-penyesalan kecil seperti gabisa main ama temen, nggak bebas dan lain lain.
Sejujurnya ini bikin aku sedikit miris, soalnya nggak bebas itu memang salah satu atribut dari sebuah pernikahan. Nggak ada pernikahan yang menawarkan kebebasan, karena menikah itu bukan cuma tentang tinggal bareng atau menyatukan keuangan.
Menikah itu komitmen besar, komitmen untuk saling jaga, komitmen untuk menyatukan tujuan.
Saling Jaga, kita musti mau menjaga semua dari pasangan kita, dari mulai mental, gizi, fisik, wajah, dan sebagainya. Kadang hal sepele dari pernikahan sesepele naruh handuk sembarangan bisa memicu omongan pedes dari kita, dan secara nggak langsung itu melukai hati pasangan. Percayalah menjaga perasaan orang yang baru kita kenal kepribadiannya 100% itu susahnya minta ampun.
Aku dan istri dulu sebelum menikah kami berpacaran selama 6 tahun. Selama 6 tahun pacaran, dia tau betul aku adalah orang yang sangat keras kepala, selama itu aku sudah berusaha untuk berubah agar tidak terlalu keras kepala dan akhirnya istriku bisa menerimaku dengan segala kekurangannya.
Setelah menikah, siapa sangka permasalahan keras kepala ini muncul kembali karena ternyata menurut istriku kepalaku belum cukup lunak saat kami tinggal bersama. Ada banyak hal yang membuat kami terguncang dengan sifat satu sama lain, dan butuh waktu yang lumayan panjang untuk beradaptasi.
Menyatukan Tujuan, kalo kalian pengen jadi orang tua yang baik maka harus ada yang merelakan karirnya demi mengurus anak agar anak punya kepribadian dan tujuan yang sama dengan orang tuanya. Atau hal sesepele mau beli mobil atau rumah terlebih dahulu?
Dua orang dengan dua latar belakang yang berbeda dan lahir dari keluarga yang berbeda akan cenderung memiliki pemikiran yang berbeda pula dalam menyikapi sebuah masalah. Permasalahan terbesarnya adalah bagaimana kita sebagai suami istri harus bisa menyelesaikan sebuah permasalahan dengan menyatukan latar belakang yang berbeda ini.
Percaya deh, bakalan seru banget. Belum lagi ngatasin interfensi dari orang tua sendiri atau mertua yang kadang justru memperkeruh keadaan.
Saat kita punya keluarga baru, maka budaya yang ada dalam keluarga kita pun akan baru, mengingat kita nggak bisa egois menerapkan budaya yang ada dirumah kita saja. Keluarga itu bukan rumah kita, tapi rumah kita dan pasangan kita. Selayaknya sebuah rumah, baiknya semua orang yang menghuni harus nyaman berada didalamnya.
Salah satu permasalahan yang akan sangat pelik berikutnya adalah membentuk budaya baru. Di awal pernikahan pasti masih ada ego untuk memaksakan budaya keluarga kita yang dulu untuk bisa diterapkan dikeluarga yang baru. Ada kalanya kita harus sadari walaupun menurut kita baik, kadang itu bikin pasangan kita nggak nyaman.